(Catatan seorang alumni tentang Dies Natalis ke-55 danReuni Akbar Alumni FakultasKehutanan UGM)
Oleh: Lukman Hakim, S.Hut, M.Sc
Lain yang dimaksud, lain yang ditulis
Lain yang ditulis, lain yang dikerjakan
Lain yang dikerjakan, lain yang dilaporkan.
Kutipan sajak Buya Hamka di atas menjadi bunga dalam Laporan Tahunan Fakultas Kehutanan (FKT) UGM Tahun 2018 yang disampaikan Dr. Budiadi, S.Hut, M.Agr.Sc dihadapan Civitas Akademika dalam rangkaian Dies Natalis FKT UGM ke-55 di Auditorium FKT UGM Yogyakarta, Jum’at (26/10/2018).
Sajak indah nan menohok ini merupakan ekspresi Dekan FKT UGM terhadap fenomena pengelolaan hutan Indonesia yang kurang menggembirakan. Upaya FKT UGM dalam meluluskan para Sarjana Kehutanan dengan beberapa indikator kelulusan yang baik terus dilakukan, namun di sisi lain kinerja sektor kehutanan secara nasional semakin menurun.
“Dari sisi input mahasiswa, kita unggul secara akademik. Dari sisi proses, kita unggul karena berbagai akreditasi BAN PT dan internasional telah dilakukan dan pendukung untuk peningkatan kualitas pembelajaran yang prima. Sedangkan output yang baik ditunjukan dengan predikat kelulusan dan masa studi yang semakin pendek. Hal yang di luar kendali kampus adalah outcome atau impact-nya tidak sepenuhnya berdampak positif bagi perbaikan kondisi sumber daya hutan,” ujar alumni angkatan 89 ini.
Keprihatinan yang disampaikan Dekan di ataslah yang mengilhami tema Dies natalis tahun ini ”MENUJU KEJAYAAN KEHUTANAN INDONESIA.” Hal ini merupakan upaya reoreantasi pembangunan hutan menuju 1 abad kemerdekaan Indonesia pada tahun 2045 dengan memandang positif dan penuh optimisme akan pentingnya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan.
Penurunan kinerja sektor kehutanan juga diakui oleh Ir. Hartono, M.Sc selaku Ketua Kagamahut dalam Pidato Dies. Penurunan luas kawasan hutan Indonesia pada awal tahun 1980 berdasarkan THGK seluas 147,0 juta hektar. Luas hutan menjadi 135,98 juta hektar berdasarkan peta RTRWP pada era 1990, dan menurun lagi menjadi 120,6 juta hektar yang tertuang dalam RKTN 2011-2030.
“Penurunan luas kawasan hutan juga diiringi dengan turunya kinerja ekonomi sektor kehutanan jika diukur dalam konstribusi terhadap PDB yang hanya 0,67% pada tahun 2017 serta penyediaan lapangan kerja yang tahun 2011 hanya 0,4% secara nasional,” kata Sekretaris BRG ini.
Walau menyumbangkan GDP dan lapangan kerja yang rendah, hutan memiliki nilai-nilai jasa ekosistem sebagai penopang dengan dampak multiplier yang besar bagi pembangunan infrastruktur dan mendukung sektor pemukiman, pertanian, pertambangan, perairan, transportasi, serta penghasil pangan, energi, air, obat-obatan, dll.
Pada akhir pidato, Hartono mengajak hadirin untuk merenungkan apa yang disampaikan oleh Gardner dan Engelman,”We both need more forest and need forest more than ever before.” Menurutnya,”Kehutanan pada hakekatnya adalah kerja lintas generasi, maka tidak sepantasnya seorang rimbawan bermimpi membangun monument bagi dirinya sendiri. Generasi sekarang dituntut menyempurnakan kekurangan para pendahulu dan sekaligus membangun pondasi yang kokoh bagi para penerusnya.”
Rangkaian penyelenggaraan Dies Natalis sekaligus Reuni Akbar 5 tahunan FKT UGM 2018 dimulai dengan pertandingan tiga cabang olah raga, meliputi Tenis Lapangan, Badminton dan Tenis Meja yang diikuti oleh instansi Kehutanan lingkup DIY pada bulan September dan awal Oktober 2018. Selain itu ada Seminar Nasional Research Update yang diselenggarakan pada tanggal 25 Oktober 2018.
Prof. Dr. Ir. Muhammad Na’iem, M.Agr.Sc menjadi salah satu pembicara kunci Semnas ini yang mempresentasikan tema,”Aplikasi SILIN untuk Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Menuju Pengelolaan Hutan yang Produktif dan Lestari.”
Penelitian SILIN ini dimulai tahun 1995 dan dikembangkan pada tahun 2005 dalam skala pilot project di 6 HPH model yaitu PT. SBK, PT. SJM, PT. EJ, PT. Sarpatin, PT. BFI dan PT. Ikani. Hasil aplikasi teknik silvikultur intensif ini di lapangan menunjukan peningkatan efisiensi dalam penggunaan lahan secara luar biasa.
”Dengan meningkatnya potensi hutan, maka luas areal hutan alam yang digunakan sebagai fungsi produksi kayu tidak perlu terlalu luas, cukup sekitar 20% dari luas areal konsesi. Sehingga areal untuk konservasi genetik dan jasa lingkungan menjadi sangat luas,” kata Guru Besar Pemuliaan Pohon ini.
Dr. Hero Marhaento, S.Hut, M.Si yang mewakili tim FKT UGM menyampaikan tema, “Strategi Jangka Benah untuk Penanganan Sawit di dalam Kawasan Hutan.” Keberadaan kebun sawit monokultur di dalam kawasan hutan mempengaruhi lanskap ekosistem hutan alam yang heterogen menjadi agroekosistem baru yang menimbulkan dampak pada skala tapak maupun skala lanskap.
Hal ini tentu berakibat pada penurunan kualitas fungsi ekosistem hutan sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan dan keaneragaman hayati, potensi sebagai konstributor emisi gas rumah kaca terutama di hutan rawa gambut, dan lebih jauh lagi akan memperlambat capaian target reduksi gas rumah kaca yang ditetapkan dalam NDC.
“Upaya merubah agroekosistem sawit monokultur menjadi agroekosistem kebun campur dalam bentuk agroforestry menjadi solusi yang rasional. Salah satu alasanya adalah peluang untuk diterima oleh masyarakat lebih tinggi dengan meningkatkan diversifikasi pendapatan selain kepala sawit,” ujar Hero.
Sebenarnya tawaran solusi atas ekspansi sawit di Sumatera sudah disampaikan oleh Alm. Prof. Dr. Ir. Suhardi dengan mencampur tanaman sawit dengan meranti pada awal tahun 2000. Kegiatan penelitian ini dilakukan di Kampus Lapangan Jambi dengan mengembangkan teknik rehabilitasi hutan tropis basah sekunder seluas 11.000 hektar dengan hasil yang cukup prospektif baik secara ekonomi maupun ekologi.
Acara yang tidak kalah menarik adalah diskusi nasional dengan salah satu nara sumber utama Pungky Widiaryanto, S.Hut, M.Sc yang menyampaikan makalah berjudul, ”Menggugat Rimbawan Mewujudkan Redesign Pembangunan Kehutan Menuju Indonesia 2045.”
Dalam makalahnya, Pungky menulis pada halaman pertama, “Makalah ini bukan mewakili pandangan sebuah institusi. Makalah ini hanya untuk bahan renungan dan diskusi. Semua isi dari tulisan ini adalah opini pribadi sendiri. Jika salah, biarlah menjadi kesalahan untuk memperbaiki diri. Kalau itu betul, mungkin hanya kebetulan. Kalau itu benar, semoga dapat mewujudkan kebenaran.”
Salah satu yang menarik dari makalah setebal 23 halaman adalah tentang ide rasionalisasi kawasan hutan. Menurut Pungki, kata rasionalisasi kawasan hutan ini sering diartikan dengan pengurangan luas kawasan hutan. Rasionalisasi disini sebenarnya ditujukan untuk untuk melindungi hutan berdasarkan data, ilmu pengetahuan dan teknologi mutahir.
Hal yang menarik lainya adalah di era digital atau yang sedang hits disebut era indutri 4.0. untuk menggunakan Teknologi Informasi dalam pengelolaan hutan. Brazil dijadikan contoh negara yang telah mengaplikasikan teknologi remote sensing dalam menurunkan laju deforestasi dan menjaga kawasan konservasi. Brazil dapat mengatasi trade-off antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bagaimana dengan Indonesia yang memiliki luas hutan tropis nomor dua setelah Brazil?
Pro dan kontra terhadap apa yang disampaikan Pungky terlihat dalam paparan nara sumber lainya maupun pembahas yang terdiri dari unsur birokrat, akademisi, perusahaan sektor kehutanan, pemerhati lingkungan, LSM. Menurut Prof. Dr. Ir. Djoko Marsono, ide yang disampaikan Pungky ini diharapkan didiskusikan dengan matang sebelum menjadi produk kebijakan yang nantinya akan banyak konsekuensi. Sedangkan Dr. Ayu Dewi Utari, narasumber dari KLHK menyatakan bahwa KLHK belum pernah menyampaikan secara resmi tentang rasionalisasi kawasan hutan Indonesia.
Dr. Agus Setyarso setuju dengan ide rasionalisasi, namun bukan luas kawasan hutan sebagai objek rasionalisasi dimaksud. Pengiat KPH ini mengibaratkan pengelolaan hutan Indonesia seperti Stadion Gelora Soekarno dan permaian sepakbola. Untuk memperbaiki pengelolaan hutan Indonesia kedepan yang lebih baik, maka yang harus diubah adalah aturan mainnya dan sekaligus pemain bolanya.
“Dalam pengelolaan hutan berbasis tapak atau KPH, semua pihak baik pengelola, masyarakat, pengusaha hutan, perkebunan, tambang yang areal konsesinya berada dalam kawasan KPH, harus berkolaborasi. Tidak main sendiri-sendiri,” tegas mantan Wadek III di era 90-an ini.
Teguh Yuwono, S.Hut, M.Sc mengapresiasi dan sekaligus berharap dalam rasionalisasi kawasan hutan ini bisa mendorong untuk membuka akses yang lebih luas kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan sebagaimana yang diamanatkan oleh Alm Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon.
Acara Talk Show model ILC ini akan ditayangkan ADI TV Yogyakarta pada tanggal 4 November 2018. Semoga para alaumni yang tidak sempat hadir dan penasaran dengan acara tersebut bisa menjadi pemirsa di ADI TV.
Dalam rangkain penyelenggraan Dies Natalis FKT UGM, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2P2BPTH) Yogyakarta ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan. B2P2BPTH menjadi juara 2 Tenis Lapangan dan juara 3 Badminton. Sedangkan Lukman Hakim, S,Hut, MP menjadi salah satu pemakalah dalam Semnas dengan membawakan makalah berjudul, ”Evaluasi Lima Bibit Jenis Tanaman Obat di Tingkat Persemaian.”
Perubahan paradigma pengelolaan hutan yang beroreantasi kayu menjadi berbasis ekosistem menempatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) sebagai produk hutan unggulan dalam industri kehutanan, termasuk jenis-jenis penghasil bahan obat-obatan tradisional.
“Tanaman penghasil obat-obatan seperti Kemuning, Temurui, Kuntobimo, Sala dan Salam memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat herbal. Kelima jenis tanaman ini termasuk yang akan ditanam di plot konservasi ex-situ di Taman Hutan Raya Bunder, Gunungkidul pada akhir tahun 2018,” kata Lukman.
Hasil evaluasi terhadap lima jenis bibit di persemaian menunjukan bibit siap tanam berdasarkan urutan terbaik adalah Sala, Salam, dan Kemuning. Sedangkan Temurui dan Kuntobimo perlu tindakan pemeliharaan yang intensif, terutama pemupukan agar pada akhir tahun 2018 siap tanam di lapangan.
Reuni akbar 5 tahunan yang diketuai oleh Dr. Sena Adisubrata ini terasa berbeda dibandingkan waktu saya dan Pak Ketua Panitia saat kuliah di era 90-an yang dihadiri oleh Ir. Djamaludin Suryo Hadikusumo selaku Menteri Kehutanan.
Waktu itu, Beliau meresmikan Gedung Auditorium berlantai 3 yang waktu itu dihadiri oleh banyak alumni yang sukses di bidangnya masing-masing baik sebagai birokrat, karyawan perusahaan BUMN maupun swasta sektor kehutanan. Dua peristiwa di era 90-an dan era Milineal ini mungkin bisa menggambarkan potret situasi dan kondisi Kehutanan Indonesia.