Menuju Indonesia emas 2045, hutan alam Indonesia diperkirakan semakin berkurang kontribusinya bagi pembangunan nasional, jika tidak ada perubahan teknologi dalam permudaan hutan untuk meningkatkan produktifitasnya. Demikian kurang lebih pesan yang disampaikan oleh para pakar Silvikultur Intensif, antara lain Prof. Dr. Mochammad Naiem, Dr. Agus Setyarso dan Prof. Dr. Elias pada pertemuan Pencanangan Silvikultur Intensif 2019 di Gedung Auditorium Soedjarwo pada tanggal 22 Januari 2019. Acara pencanangan SILIN 2019 dihadiri oleh kurang lebih 527 peserta yang meliputi para dekan Fakultas Kehutanan di seluruh perguruan tinggi, para pejabat eselon I dan II KLHK, unsur pengusaha, dan 30 tim pakar dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Kementerian LHK saat ini telah mewajibkan para pemegang ijin konsensi pemanfaatan hutan alam untuk menerapkan teknik silvikultur intensif (SILIN) seluas 20% dari luas areal produktifnya berdasarkan Perdirjen PHPL No. 12 tahun 2018. Dalam 15 – 25 tahun ke depan hutan alam Indonesia diharapkan mampu memberikan produksi kayu yang melimpah kembali bahkan melebihi dari kondisi 30 tahun yang lalu jika setiap unit manajemen hutan alam menerapkan SILIN.
Menurut para pakar SILIN, produktifitas hutan alam dapat ditingkatkan hingga 3 – 4 kali lipat dari produktifitas saat ini atau setara dengan 90 – 120 m3/ha/daur, seperti yang telah diterapakan pada beberapa model unit manajemen hutan alam di PT Sari Bumi Kusuma, PT Sarpatim, dan PT Erna Djuliawati, dan beberapa perusahaan hutan alam lainnya yang menjadi model uji coba SILIN selama satu decade terakhir. Jika setiap unit manajemen hutan alam menerapkan teknik silin seluas 600 ha setiap tahun selama 20 tahun, produksi kayu yang akan diperoleh dari luasan tersebut setara dengan 54.000 – 72.000 m3 pada tahun ke-21. Produksi ini masih ditambah dari areal yang menerapkan sistem silvikultur tebang pilih tanam Indonesia di luar areal SILIN yang kurang lebih akan mencapai produksi 30.000 m3.
Namun demikian, kewajiban untuk menerapkan SILIN seluas 20% ini masih perlu mendapatkan dukungan kebijakan berupa insentif fiskal, seperti pengurangan Dana Reboisasi (DR) dan atau insentif lain yang menarik bagi para pengusaha untuk mengelola hutannya secara berkelanjutan. Selain insentif fiskal, instrumen lain yang diperlukan adalah bantuan teknis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang mencakup bidang pengadaan bibit unggul (persemaian permanen), perencanaan SILIN, pengelolaan tegakan SILIN, penerapan RIL pada areal SILIN, dan pengendalian hama dan penyakit. Dengan perbaikan kebijakan di bidang fiskal dan sumber daya manusia diharapkan hambatan dalam mengadopsi teknik SILIN dapat dikurangi secara bertahap dan akan meningkatkan partisipasi para pemegang ijin usaha pemanfaatan hutan alam. Untuk menjawab tantangan tersebut Fakultas Kehutanan UGM bersama-sama dengan Fakultas Kehutanan di perguruan tinggi lain se-Indonesia sangat berperan untuk memberi masukan kebijakan kehutanan yang relevan dalam menjawab permasalahan adopsi SILIN dan industri kehutanan di masa depan.