(Yogyakarta: 6 Januari 2015); “Peraturan Pemerintah Nomor 72/1010 tentang Perum Perhutani harus segera direvisi, karena isi PP tersebut sangat dominannya peran Perum Perhutani, dan kurangnya kewenangan pada Pemerintah Daerah, Desa, serta akses masyarakat untuk berperak aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan di Jawa”, itu adalah salah satu klausul kesimpulan yang mengemuka dalam “Semiloka Pembaharuan Tata Kelola Ekosistem Hutan Jawa yang Berkeadilan dan Peran Perum Perhutani ke Depan”, yang dilaksanakan di UC UGM tanggal 6 Januari 2015. Latar belakang lahirnya acara Semiloka tersebut adalah kepedulian dari Universitas Gadjah Mada (khususnya Fakultas Kehutanan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, dan Fakultas Hukum) untuk mengawal pembangunan di Indonesia, khususnya pembangunan hutan di Jawa.
Dari luas kawasan hutan negara di Jawa 2.990.916 ha, seluas ± 2.4 juta ha (83%) dikelola oleh Perum Perhutani, dan sisanya berupa kawasan hutan konservasi dikelola oleh UPT-UPTKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Saat ini Perhutani sebagai pengelola hutan di Jawa disorot oleh banyak pihak, karena dianggap “gagal” dalam mengelola hutan Jawa secara lestari. Kondisi ini dapat dimaklumi karena banyaknya kelemahan dan kekurangan yang dijumpai dalam pengelolaan hutan Jawa oleh Perum Perhutani, tidak sesuai dengan ekspektasi dan harapan para pihak tentang pengelolaan hutan di Jawa sesuai dengan kaidah kelola ekosistem dan mampu memberikan manfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Di awal lahirnya program “QuickWin”Tim Transisi Pemerintahan Jokowi di bidang Pangan dan Pertanian yang berisi klausul “merubah PP No. 72/2010 tentang Perum Perhutani yang mendudukkan desa sebagai subyek hukum untuk kepemilikan dan pemanfaatan tanah dan hutan, dan memfokuskan cor Business Perum Perhutani ke pengolahan hasil hutan, SDA dan hasil pertanian, serta penyerahan tugas pengelolaan hutan kepada Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)”; dan Bidang Lingkungan Hidup, yang berbunyi: “Peluncuran Program Sertifikasi Penyerahan Hak Kelola Lahan Perhutani kepada Desa untuk Pemanfaatan oleh Kelompok Petani Hutan”.
Beberapa kelemahan/kekurangan dalam institusi Perum Perhutani yang selama ini disorot oleh banyak pihak dan menjadi salah satu alasan utama dari lahirnya program QuickWin khususnya revisi PP 72/2010, yaitu:
- Paradigma pengelolaan hutan yang diterapkan Perhutani masih menitikberatkan pada hasil kayu (Timber Management) sebagai produksi utama Perum Perhutani.
- Pendekatan State BasedForest Management yang dijalankan saat ini tidak kompatibel untuk mengatasi permasalahan sosial ekonomi dan lingkungan yang semakin kompleks.
- Silvikultur yang diterapkan Perhutani dengan sistem Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) dengan tanaman sejenis (monokultur) dan daur tunggal, kurang sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan di Pulau Jawa yang padat penduduk, rentan bencana dan membutuhkan ketersediaan air yang kontinyu.
- Pengelolaan hutan lindung yang sebagian besar terletak di pegunungan dan dataran tinggi berfungsi penting sebagai daerah tangkapan air dan pengendali erosi, namun demikian desain sistem silvikultur tidak disesuaikan dengan fungsi tersebut.
- Sistem kemitraan dalam kelola hutan melalui program PHBM sampai saat ini masih terkesan sebagai kemitraan “setengah hati”. Di sisi lain LMDH sebagai mitra Perum Perhutani dalam program PHBM belum mampu berperan sebagai lembaga tingkat desa dan malah terlihat sebagai lembaga eksklusif, belum sesuai dengan amanah UU No. 6 tahun 2014 dan UU 23 tahun 2014. Program PHBM belum mengakomodir karakteristik setempat dan perspektif desa sebagai unit administratif terkecil.
- Pola manajemen di Perum Perhutani masih tersentral di Direksi, di mana semua kebijakan strategis masih harus diputuskan BOD Perhutani. Belum ada upaya konkrit untuk memberdayakan KPH sebagai Strategic Business Unit, dan juga mengakomodir pengelolaan hutan berbasis eco-region dan pengelolaan daerah aliran sungai.
- Perencanaan yang diterapkan Perhutani masih bersifat perencanaan instruktif, belum mengakomodir keberagaman wilayah, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat
- Sistem pengelolaan hutan di Perhutani masih menggunakan pola ekstensif (skala luas) dengan pola Kelas Perusahaan (misal KP Jati, KP Mahoni, KP Pinus/Getah dll). Kondisi ini artinya menafikan kondisi Jawa yang membutuhkan model pengelolaan intensif pada skala kecil (berbasis petak atau RPH).
- Ditinjau dari kualitas sumber daya manusia, masih banyak aparat lapangan Perhutani yang belum bisa berfungsi sebagai fasilitator, dan masih banyak perilaku menyimpang dari sebagian oknum petugas lapangan yang berdampak pada menurunnya integritas pejabat Perhutani.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Universitas Gadjah Mada sebagai universitas tertua di Indonesia yang memiliki 18 fakultas dengan multi disiplin ilmu memiliki tanggung jawab moral untuk berperan aktif memberikan masukan dan saran konstruktif tentang bentuk, model dan strategi pengelolaan ekosistem hutan Jawa (khususnya yang di kelola Perum Perhutani) sehingga ke depannya harapannya akan terwujud model pengelolaan hutan Jawa yang lebih berkeadilan, dan mampu menjamin keseimbangan kelestarian aspek produksi, kelestarian aspek ekologi, dan kelestarian aspek sosial.
Dalam Forum Semiloka tersebut, pembicara yang hadir selain dari UGM, adalah Dr. Bambang Hendroyono, Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Drs. Moh. Zamkhani Deputi Bidang Agro dan Usaha Strategis Kementerian BUMN, dan Ronald Ferdaus, S.Hut. dari LSM AruPA. Sedangkan peserta yang hadir dalam kegiatan berjumlah 110 orang dan mewakili dari beberapa pihak terkait, antara lain: pemerintah pusat (Kementerian LHK, Kementerian BUMN), pemerintah daerah (Dinas Kehutanan Propinsi, Bupati, dan Dinas Kehutanan Kabupaten), Perum Perhutani, Akademisi (IPB, UGM, INSTIPER), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), dan LSM Kehutanan dan Lingkungan.
Maksud dan tujuan pelaksanaan Semiloka ini adalah untuk menjaring usulan, masukan, dan saran dari para pihak untuk perbaikan dan penyempurnaan hasil rekomendasi tentang pembaharuan tata kelola ekosistem hutan Jawa, sehingga hasil rekomendasi ini lebih mengakomodir harapan dan keinginan para pihak.
Setelah melalui sidang pleno, dan dilanjutkan dengan sidang komisi, beberapa kesimpulan penting selain pentingnya revisi PP 72/2010 adalah sebagai berikut:
- Menghadirkan negara dalam pengelolaan hutan melalui penugasan kepada BUMN (c.q. PerumPerhutani) untuk melakukan pengelolaan hutan dengan perbaikan tatakelola (Good Governance Reform)
- Melakukan revisi kebijakan pengelolaan hutan, khususnya PP 72/2010 yang menitik beratkan penguatan peran Kementerian LHK dalam pembinaan kelembagaan Perum Perhutani, memberikan perluasan kewenangan kepada desa dan akses kepada masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, sesuai amanah UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 6/2014 tentang Desa.
- Menata ulang hubungan kelembagaan dengan memperbaiki fungsi koordinasi dan komunikasi tentang pembagian peranantara Kementerian LHK dan Kementerian BUMN.
- Fokus penilaian keberhasilan Perhutani kedepan tidak semata-mata mengejar profit namun lebih ditekankan pada: misi lingkungan berupa pemulihan kondisi SDH, misi sosial berupa peningkatan emansipasi masyarakat dalam membangun hutan sehingga berkurangnya konflik social, dan kemanfaatan umum berupa jasa lingkungan, pencegahanbencana, tata air, penyerapankarbon.
- Penugasan khusus kepada Perhutani dan Pemerintah Daerah untuk berbagi peran dalam melakukan aksi nyata untuk meningkatkan pendapatandan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan baik on Farm maupun of Farm.
- Menerapkan program “Hutan untuk Kedaulatan Pangan”, Forest for Wood, Food, MeatandHerbs”.
- Pengelolaan hutan lindung dikelola secara kolaboratif dan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, Perum Perhutani, dan desa.
- Perubahan dari sentralistik menuju ke desentralisasi kelola hutan di tingkat lokal kepada Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) bersama dengan Pemerintah Daerah dan masyarakat dengan pendekatan kemitraan (partnership) dan pemberdayaan (empowerment).
- Restrukturisasi organisasi Perum Perhutani, dengan menguatkan organisasi di tingkat tapak/wilayah, dan perampingan jumlah SDM sesuai dengan kebutuhan.
- Penguatanperan KPH bersama dengan Pemerintah Kabupaten dan Desa dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan/hasil hutan melalui kemitraan (partnership) dan pemberdayaan (empowerment).
- Mekanisme Reward and Punishment untuk memacu kinerja dan produktivitas.
- Penerapan paradigma Social Forestry (kehutanan sosial) dengan pendekatan Forest Resources Management (FRM dan Forest Ecosystem Management (FEM).
- Perubahan perencanaan pengelolaan hutan dari perencanaan instruktif menjadi perencanaan adaptif yang berbasis karakteristik wilayah dan mengakomodir kepentingan multipihak.
- Perubahan sistem silvikultur dari tegakan monokultur, daurtunggal dan THPB menjadi sistem silvikultur Tebang Pilih, tegakan multijenis, dan daur ganda.
- Reformasi kelembagaan Perum Perhutani yang berorientasi pada penguatan komitmen Perhutani pada misi lingkungan, kemanfaatan umum daripada mengejar profit
- Mengurangi tingkat konflik antara Perhutani dengan masyarakat terkait tenurial dan penguasaan lahan melalui mutual-trust, dan pengembangan pendekatan baru yang lebih emansipatif dan empowerment dalam pengelolaan hutan.
- Melakukan audit kawasan hutan yang dikelola Perhutani oleh “Tim IndependenMultipihak” untuk memastikan status kawasan hutan, intensitas konflik, dan strategi pengelolaan hutan kedepan.
- Pemberian kewenangan dan akses kepada desa, kelompok masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan/hasil hutan, tanpa mengubah status dan fungsi sebagai kawasan hutan, dengan melibatkan Perhutani.
- Mengembalikan program PHBM pada khittahnya sesuai keberagaman karakteristik setempat; dan semangat berbagi peran, berbagi manfaat, dan berbagi hasil antar pihak.
Di harapkan dari forum semiloka ini nanti ke depannya akan dapat dilahirkan beberapa kebijakan baru dan aksi nyata di lapangan dalam pengelolaan ekosistem hutan Jawa sehingga akan tercapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan amanah UUD 1945. (TY).