Kamis, 16 April 2020, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan diskusi daring untuk menelaah rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja atau yang sering disebut Omnibus Law dan dampaknya terhadap sektor kehutanan dan lingkungan hidup. Diskusi diikuti oleh civitas akademika Fakultas Kehutanan UGM dengan menghadirkan narasumber Prof. Dr. Ir. San Afri Awang (Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI) , Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko (Guru Besar bidang Pengelolaan Satwa Liar sekaligus Kepala Pusat Studi Agroekologi dan Sumberdaya Lahan UGM), Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H. (Guru Besar Hukum Bisnis, UGM), dan Dr. Senawi (Ahli Bidang sistem informasi spasial dan pemetaan hutan Fakultas Kehutanan UGM) .
Tampil sebagai pembicara pertama, Prof. Dr. San Afri Awang menyoroti mengenai beberapa pasal dalam RUU Cipta Kerja yang berdampak pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Misalnya dalam pengukuhan kawasan hutan ada upaya penyederhanaan persoalan dilapangan. Persoalan konflik tata batas cenderung akan diselesaikan secara administratif oleh pemerintah pusat. Hal ini bisa menimbulkan situasi dimana masalah selesai di pusat tapi di lapangan konflik masih tetap terjadi. Prof. San Afri Awang juga memberikan penegasan dengan pernyataan bahwa RUU ini adalah sebuah kemunduran. Kedudukan korporasi dan koperasi rakyat yang sudah disejajarkan dalam 5 tahun terakhir, justru menjadi hilang dengan penghapusan beberapa pasal dan menyarankan untuk tetap mempertahankan spirit keadilan dalam pembahasan lanjut RUU ini.
Pembicara kedua, Prof. Dr. Nindyo Pramono pada prinsipnya mendukung semangat RUU Cipta Kerja yang akan menyederhanakan perizinan di Indonesia tetapi telaah kritis terhadap RUU Cipta Kerja juga perlu didukung agar celah-celah yang masih kurang dapat diperbaiki. Lebih lanjut, Prof. Nindyo menjelaskan bahwa negara Indonesia sudah tertinggal jauh dari negara-negara di ASEAN dalam penyederhanaan perizinan usaha sehingga investasi banyak berpindah ke negara-negara ASEAN lainnya.
Pembicara selanjutnya, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko menekankan pada bagaimana cara pandang RUU Cipta Kerja terhadap hutan sebagai sumberdaya atau dipandang lebih dari sekedar komoditas saja. Beliau juga mengaitkan RUU ini dengan situasi merebaknya Covid-19 yang dampak ekonomi, kesehatan, dan sosialnya telah ditelaah Bappenas. Satu hal yang ditambahkan oleh beliau adalah tentang munculnya New Emerging Infectious Dieseas (penyakit-penyakit baru) yang dikaitkan dengan keberadaan ekosistem hutan. Berkurangnya keanekaragaman hayati dan perubahan lahan secara signifikan adalah ciri yang penting dalam mudahnya timbul penyakit baru.
Pembicara terakhir, Dr. Senawi menegaskan bahwa kita harus mampu memposisikan sumberdaya hutan sebagai subyek dan obyek pembangunan. Diskusi tentang optimasi penggunaan lahan/hutan yang kemudian dituangkan dalam undang-undang sebagai luas minimal hutan di suatu wilayah DAS sebesar 30% yang juga sempat dibahas oleh Prof. San Afri Awang masih membutuhkan kajian akademik yang jelas, dibahas lebih lanjut oleh Dr. Senawi berdasar kajian yang telah dilakukan. Optimasi penggunaan lahan/hutan bervariasi dan sangat tergantung pada morfogenesis, bentang lahan, kemiringan lahan, kepekaan tanah (erosi) dan factor iklim. Hasil kajian memperlihatkan rentang yang sangat lebar pada aspek morfogenesis misalnya dari sekitar 25% sampai dengan 70%. Kajian tersebut kemudian menegaskan bahwa kebutuhan luas hutan dalam suatu wilayah DAS adalah rata-rata pada angka 35,71%. Hal ini tentu penting sebagai rujukan yang dituangkan dalam RUU Cipta Kerja.
Pada sesi diskusi poin-poin yang disajikan oleh narasumber dibahas lebih dalam oleh peserta diskusi dan sebagai penutup, Dekan Fakultas Kehutanan UGM Dr. Budiadi, S.Hut., M.Agr, Sc. Menyampaikan bahwa Tim Fakultas Kehutanan UGM akan menyiapkan daftar inventarisasi masalah yang dihasilkan dalam diskusi hari ini kepada masyarakat dan khususnya kepada DPR RI sebagai masukan dan pertimbangan pembahasan selanjutnya. (Humas FKT UGM)
Baik
Menambah wawasan