Lebih dari 126 juta hektar terdaftar pada peta resmi Indonesia sebagai hutan. Komposisi hutan tersebut tersusun dari berbagai macam bentuk ekologi yang disebabkan oleh keanekaragaman hayati Indonesia dan juga dari sejarah suatu wilayah. Kita ketahui bersama bahwa sebagai negara bekas jajahan pasti ada peninggalan dari penjajah yang membekas hingga sekarang, salah satunya mengenai pemahaman mengenai hutan. Selain karena pengaruh dari kolonial Belanda, hutan Indonesia telah dipengaruhi oleh rezim internasional, dan juga ada yang mengatakan sebagai hutan politik dengan ciri tertentu. Namun, pada era sekarang, definisi hutan menjadi hal yang harus dipikirkan kembali, karena perspektif terus berkembang dengan keadaan yang ada sekarang ini. Hal itulah yang telah dibahas pada Seminar Online yang diadakan oleh Fakultas Kehutanan UGM pada Kamis (13/8) melalui media Zoom, dengan topik “The Misinterpreted Forest”.
Seminar online kali ini merupakan kegiatan yang dilaksanakan dengan kerja sama antara Fakultas Kehutanan, UGM dan AIFIS (American Institute for Indonesian Studies). Seminar ini menjadi bentuk kerja sama yang pertama antara Fakultas Kehutanan, UGM dan AIFIS. Kemudian, karena merupakan bentuk kerja sama dari dua lembaga, maka narasumber seminar juga ada dua, yaitu Prof. Dr. Ahmad Maryudi dari Fakultas Kehutanan dan Micah R. Fisher, Ph.D perwakilan dari AIFIS. Moderator dalam seminar online kali ini adalah Emma Soraya, S.Hut., M.Sc., Ph.D., beliau adalah dosen di Fakultas Kehutanan, UGM yang menekuni bidang Sistem Informasi Spasial dan Pemetaan Hutan. Seminar diikuti oleh 98 peserta dari berbagai lembaga. “Harapannya dari seminar ini dapat menambah nuansa keilmuan baru mengenai kehutanan dan lingkungan, serta secara tidak langsung meningkatkan kapasitas kemampuan dari para peserta”, kata Dr. Muhammad Ali Imron selaku wakil dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerja sama Fakultas Kehutanan, UGM dalam sambutan pembukaan seminar kali ini.
Seminar online diawali dengan pengantar mengenai topik seminar oleh Emma Soraya, S.Hut., M.Sc., Ph.D.. Beliau menyampaikan bahwa topik kali ini sangat unik, karena selama ini kita menganggap bahwa semua orang memiliki definisi yang sama tentang hutan. Memasuki sesi inti seminar, dimana sesi inti dimulai dari pemaparan materi oleh Micah R. Fisher, Ph.D, kemudian diikuti sesi pembahasan oleh Prof. Dr. Maryudi. Dalam penyampaian materi, Micah memaparkan riwayat penelitian yang dilakukan di Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Beliau melakukan penelitiannya selama 21 bulan, bahkan sampai terlibat langsung dalam pembuatan peraturan desa mengenai hutan adat di Kajang – peraturan desa pertama mengenai pengakuan hutan adat di Indonesia. Dari penelitian tersebut, Micah menyarankan empat tipologi untuk memahami hutan sebagaimana dengan yang dialami secara relasional melalui perspektif lokal, yaitu sebagai state forests, nurturing forests, exploitable forests, and sacred forests. Dengan memusatkan interpretasi hutan dan kehutanan dari perspektif lokal tersebut, Micah menyarankan sudut pandang yang berbeda untuk memikirkan kembali masalah terkait kehutanan di Indonesia. “Kalau perspektif lokal sering dilupakan, apa implikasinya pada sistem kelola hutan di Indonesia?”, tambah Micah pada akhir presentasi.
Pada sesi pembahasan oleh Prof. Dr. Ahmad Maryudi, beliau mengatakan bahwa definisi yang diungkapkan oleh Pak Micah itu sangat menarik, karena ketika kita memandang hutan dari sudut pandang negara masih belum me-elaborasikan masyarakat dan institusi lokal dalam suatu lanskap hutan. Definisi hutan Indonesia dan banyak negara lainnya memang cenderung pada rezim pemanfaatan, namun ada fenomena baru yang menarik di hutan Indonesia, dimana ada suatu klaim yang disebut hutan rakyat, akan tetapi memang saat ini hutan rakyat belum di-akomodir secara penuh oleh negara. Prof. Maryudi juga mengkritisi tipologi hutan yang disampaikan Micah, dimana terdapat ambiguitas pada nurturing forests dan exploitable forests yang sebenarnya mirip dengan hutan dari sudut pandang rezim pemanfaatan, dimana memang diadopsi pemerintah hingga sampai saat ini. Menurut Prof. Maryudi, ada hal menarik, jika memungkinkan dalam mengategorikan hutan dapat didasarkan pada komposisi bio-fisiknya ataupun dari konteks proximity – kedekatan dengan pemukiman. “Jika cara pandang negara dan lokal bisa di-overlapkan akan menarik berkaitan dengan tren baru yaitu social forestry, yang mana kita tahu semua bahwa kita masih terbatas pada rezim produksi, lindung, dan konservasi, dan dari penelitian Micah, ini mungkin bisa menjadi peluang kita untuk mengetahui cara pandang lokal terhadap hutan, “ tambah Prof. Maryudi.
Seminar ditutup dengan pernyataan penutup dari Micah dan Prof. Maryudi, yang mana mereka setuju dengan berbagai sudut pandang hutan dan jika bisa kita bisa menyikapi berbagai perbedaan cara padang itu maka dapat menjadi kunci upaya promosi pengelolaan hutan yang baik dan adil. “Bahwa sekarang memang banyak kasus dan konflik, karena kita kurang sabar untuk duduk bersama mendefinisikan hutan supaya tidak terjadi mis-interpretasi, dan diskusi ini bisa menjadi “pancingan” supaya kita lebih terbuka dan tidak dirugikan dengan salah satu pihak, “ tambah Emma pada sesi penutupan acara.
Link untuk rekaman webinar: https://youtu.be/7UqtkGJwbA0