Keterlanjuran sawit di kawasan hutan masih menjadi polemik panjang di Indonesia. Ada berbagai usulan solusi yang muncul di public terkait solusi penyelesaian masalah ini, salah satunya adalah dengan mengusulkan sawit sebagai tanaman hutan.
Kamis (25 November 2021), Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University bersama dengan Pusat Kajian Advokasi dan Konservasi Alam mengadakan Seminar Nasional yang berjudu; “Permasalahan, prospek, dan implikasi sawit sebagai tanaman hutan” yang diselenggarakan secara blended daring dan luring di IPB International Convention Center. Acara ini dibuka oleh ketua panitia Prof. Dr. Ir. Yanto Santoso, DEA dan Ir. Musdhalifah Machmud, MT (Deputi Bidang Koordinasi pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI).
Pada sesi utama acara, Dr. Sigit Sunarta (Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada) hadir sebagai salah satu keynote speaker, bersama Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc. (Dekan Fakultas Kehutanan IPB), Dr. Forst Bambang Irawan, SP. M.Sc., IPU. (Ketua Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi), dan Prof. Dr. Jatna Supriyatna, M.Sc. (Universitas Indonesia).
Dalam paparannya secara daring, Dr. Sigit mengungkapkan bahwa sawit terbukti sebagai komoditas perkebunan unggulan bernilai ekonomi tinggi dan sebagai salah satu penggerak pembangunan nasional. Namun, persoalan perluasan kebun sawit hingga masuk ke dalam kawasan hutan telah menyebabkan deforestasi yang berdampak pada penurunan biodiversitas, peningkatan frekuensi kejadian bencana banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan-lahan. Selain itu, pola berkebun secara ekspansif hingga masuk ke dalam kawasan hutan juga berdampak pada sosial-budaya masyarakat.
Namun, saat akan menyampaikan pandangan terkait usulan sawit sebagai komoditas kehutanan, tiba-tiba paparan Dr. Sigit mengalami gangguan oleh hacker yang selanjutnya menguasai layar. Hal ini berlangsung cukup lama dan sangat mengganggu, sehingga panitia acara memutuskan untuk menghentikan acara paparan daring.
Pada kesempatan ini, tim humas FKT UGM melakukan wawancara dengan Dr. Sigit untuk menjelaskan kelanjutan dari paparan tersebut. Dr. Sigit menyampaikan bahwa usulan memasukkan sawit sebagai tanaman hutan tidak relevan untuk digunakan sebagai solusi penyelesaian keterlanjuran kebun sawit di kawasan hutan. Asumsi bahwa dengan memasukkan sawit sebagai tanaman kehutanan dapat menyelesaikan masalah deforestasi dan persoalan lain yang menghambat perluasan kebun sawit nasional adalah hal yang spekulatif.
Masalah deforestasi adalah persoalan global dan sudah menjadi kepentingan masyarakat internasional. Banyak aturan main global yang sudah diratifikasi oleh Indonesia misalnya skema REDD+, Paris Agreement, dll yang harus dipatuhi sehingga tidak mungkin membuat definisi deforestasi sesuai keinginan kita sendiri, dan berharap diterima oleh masyarakat internasional. Kegagalan dalam memenuhi konvensi internasional yang sudah diratifikasi akan mempengaruhi posisi Indonesia dalam percaturan geopolitik terutama terkait dengan komitmen pencapaian NDC.
Selain itu, usulan sawit sebagai tanaman kehutanan juga mengemuka karena adanya keinginan pengusahaan tanaman sawit pada ijin HTI, atau bahkan peluang membangun HTI sawit. Kondisi ini mengindikasikan bahwa para pelaku industri kehutanan tidak mampu atau tidak mau menyelesaikan pekerjaan rumahnya sendiri untuk membangun industri kehutanan yang bernilai ekonomi tinggi dan menerapkan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari.
Yang perlu diperhatikan dari usulan sawit sebagai tanaman hutan adalah potensi dampak dari perluasan kebun sawit yang dapat menyebabkan peningkatan supply Tandan Buah Segar (TBS) sawit di pasar. Hal ini berisiko menurunkan harga TBS yang akan mempengaruhi pendapatan pelaku usaha sawit, khususnya petani kecil (smallholder).
Ditengah berbagai kejadian bencana alam (terutama banjir) yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, yang sebagian besar dianggap karena adanya konversi hutan menjadi kebun sawit, usulan ini dianggap kurang etis dan membutuhkan tinjauan kritis dan ilmiah yang melibatkan lintas bidang keilmuan, bukan semata aspek fisiologis tanaman hutan.
Menghadapi polemik keterlanjuran sawit, Fakultas Kehutanan UGM bersama dengan berbagai mitra telah mengambil sikap dengan mengusulkan konsep Strategi Jangka Benah (SJB) sebagai alternatif solusi keterlanjuran kebun sawit di kawasan hutan. SJB merupakan pendekatan sosio-teknis-kebijakan yang bertujuan memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan yang rusak akibat keterlanjuran sawit. Upaya ini dilakukan secara bertahap melalui penguatan kelembagaan, tindakan silvikultur yang terjadwal (membentuk agroforestry sawit), dan dukungan kebijakan. Saat ini Jangka Benah telah menjadi kebijakan nasional seiring keluarnya PP No.23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Dr. Sigit menutup sesi diskusi dengan menyampaikan bahwa sesuai amanat Pembukaan UUD 45, pemerintah wajib melindungi dan mensejahterakan seluruh warga negara. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pembangunan perlu dilakukan tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan untuk menghindarkan dari ancaman-ancaman bencana ekologis di masa mendatang.