Yogyakarta, 28 Agustus 2025 – Dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-62, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan Orasi Budaya bertajuk “Menumbuhkan Akal Budi Bangsa di Era Post-Truth” pada Kamis (28/8) di Selasar Gedung IFFLC. Kegiatan ini sekaligus menjadi agenda rutin tahunan dalam rangka membuka tahun akademik baru 2025/2026.
Orasi budaya ini menghadirkan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Dr. H. Fahrudin Faiz, S.Ag., M.Ag. sebagai pembicara dan Israr Ardiansyah, M.Sc. sebagai moderator. Kegiatan ini diikuti oleh lebih dari 300 peserta terdiri dari para dosen, mahasiswa, para tamu undangan dari instnasi pemerintah dan mitra-mitra fakultas. Bagi mahasiswa baru Fakultas Kehutanan Tahun 2025 diwajibkan untuk mengikuti orasi budaya ini.
Dalam orasinya, Fahrudin mengingatkan pentingnya akal budi sebagai penuntun kolektif bangsa agar tidak hanyut dalam arus kepalsuan dan kebohongan massal di era post-truth. “Akal menuntun manusia untuk memfilter dengan nalar, kritis, dan rasional, sedangkan budi menuntun dimensi moral, etika, kebijaksanaan, serta rasa kemanusiaan,” ungkapnya.
Era post-truth digambarkan sebagai kondisi sosial-politik ketika fakta objektif dan data kebenaran tidak lagi menjadi dasar utama dalam membentuk opini publik. Dunia digital kemudian menjadi instrumen yang menggemakan “kebenaran versi sendiri”, di mana algoritma memperkuat persepsi yang dianggap benar, bukan fakta objektif.
Fahrudin mengidentikkan fenomena ini dengan perilaku masyarakat pada era jahiliyah yang sarat prasangka. Untuk menghadapinya, ia mengutip tips dari Socrates yang mengajarkan agar setiap kabar diuji dengan tiga pertanyaan: (1) Apakah informasi tersebut benar? (2) Apakah informasi itu penting? (3) Apakah informasi itu bermanfaat?
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya keseimbangan antara akal, budi, dan spiritualitas. Menurutnya, hidup dengan hanya mengandalkan akal (IQ) akan terasa kering, sementara terlalu menekankan budi (etika) tanpa dasar kuat hanya akan menghasilkan kepalsuan. Di sisi lain, fokus berlebihan pada spiritualitas semata membuat manusia cenderung fatalistik.
Dimensi spiritual dan logika mistik, lanjut Fahrudin, memang berakar kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia, sehingga nalar mistik kerap lebih mudah diterima. Ia menyinggung pemikiran Tan Malaka yang prihatin dengan dominasi logika mistik di bangsa ini hingga menulis buku Madilog untuk mendorong penggunaan rasio nalar yang objektif.
Melalui orasi budaya ini, Fahrudin mengajak seluruh sivitas akademika untuk meneguhkan kembali peran akal budi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dengan akal budi yang seimbang, diharapkan bangsa Indonesia mampu menghadapi tantangan era post-truth dengan bijak, kritis, dan berlandaskan nilai kemanusiaan.