Yogyakarta, 11 September 2025 — Dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-62, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan Working Group ICCAs Indonesia (WGII) menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Merajut Pengetahuan Lokal dan Modern untuk Konservasi Berkelanjutan dalam Pencapaian Target IBSAP 2025–2045”. Kegiatan ini dilaksanakan pada Kamis, 11 September 2025, bertempat di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, mulai pukul 08.00 WIB.
Hadir sebagai pembicara kunci (keynote speaker) adalah Sapto Aji Prabowo, S.Hut., M.Si., Direktur Konservasi Kawasan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain itu, sejumlah narasumber lain turut berbagi perspektif dan pengalaman dalam sesi diskusi panel, antara lain:
- Ir. Inge Retnowati, M.E. (Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup)
- Putu Ardana (Perwakilan Masyarakat Adat Dalem Tamblingan, Catur Desa – Bali)
- Dr.rer.nat. Nurhadi, S.Ant., M.Hum. (Dosen Pendidikan Sosiologi Antropologi, Universitas Sebelas Maret)
- Cindy Julianty, S.H. (Koordinator Eksekutif WGII)
- Ir. Dwiko Budi Permadi, S.Hut., M.Sc., Ph.D., IPU. (Dosen Fakultas Kehutanan UGM)
Seminar ini dipandu oleh Dr. Ir. Much. Taufik Tri Hermawan, S.Hut., M.Si., IPU., dosen Fakultas Kehutanan UGM, sebagai moderator. Adapun sesi penutupan dan closing remarks disampaikan oleh Dr. Ir. Kaharuddin, S.Hut., M.Si., selaku Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset, dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Kehutanan UGM. Kegiatan ini diketuai oleh Daris Fahmaa Sutata, S.Hut., M.Sc.
Seminar ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan dari kementerian dan lembaga terkait, antara lain Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH), Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup, Tenaga pendidik dan kependidikan Fakultas Kehutanan UGM, Mahasiswa program Sarjana (S1), Magister (S2), dan Doktor (S3).
Seminar ini menyoroti pentingnya integrasi pengetahuan lokal dan ilmiah dalam menghadapi tantangan konservasi di tengah krisis global lingkungan. Indonesia sebagai negara megabiodiversitas memiliki kekayaan hayati dan budaya yang menjadikannya pusat strategis dalam agenda konservasi dunia. Namun, tantangan serius seperti alih fungsi lahan, eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan, dan triple planetary crisis (perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi) terus mengancam ekosistem dan kehidupan masyarakat.
Seminar ini bertujuan memperkuat pemahaman civitas akademika terhadap arah kebijakan IBSAP 2025–2045, serta mengidentifikasi peran strategis perguruan tinggi dalam riset, aksi konservasi, dan pengembangan inovasi berbasis pengetahuan tradisional dan modern.
Dalam diskusi, para narasumber menyoroti kurangnya sinergi antar pemangku kepentingan dan masih maraknya pemisahan antara masyarakat dan kawasan hutan. Pengetahuan tradisional masih sering dianggap bertentangan dengan pendekatan modern, padahal keduanya seharusnya saling melengkapi dalam upaya pelestarian lingkungan.
Meski menghadapi berbagai tantangan, Indonesia memiliki banyak potensi: dua dari 36 hotspot keanekaragaman hayati dunia berada di wilayahnya. Peluang pemanfaatan sumber daya genetik untuk produk berkelanjutan, skema pendanaan nasional dan internasional, serta praktik konservasi lokal seperti yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Bali menjadi contoh sukses yang bisa direplikasi.
Namun, hambatan besar masih mengintai. Setiap tahun Indonesia memerlukan dana Rp70–75 triliun untuk pengelolaan keanekaragaman hayati, namun yang tersedia baru sekitar Rp10 triliun. Selain itu, lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan dan konflik pandangan antara negara dan masyarakat menjadi tantangan tersendiri.
Sebagai langkah ke depan, seminar ini merekomendasikan:
- Penguatan kolaborasi multipihak
- Integrasi pengetahuan tradisional dan modern secara setara
- Pendokumentasian praktik konservasi berbasis lokal
- Pemberian insentif dan rekognisi bagi masyarakat penjaga kearifan lokal
- Advokasi kebijakan berbasis hak (right-based approach)
Penutup seminar menegaskan bahwa keberhasilan IBSAP hanya dapat tercapai melalui kolaborasi aktif seluruh elemen bangsa. Konservasi harus menjadi gerakan bersama—bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan mitra pembangunan. Seminar ini diharapkan memberi kontribusi konkret bagi perumusan kebijakan, penguatan kapasitas, serta praktik konservasi yang inklusif dan kontekstual di Indonesia.
Penulis: Dani Listyowati